Sekarang kita ngutak-atik geogebra untuk materi geometri (dilatasi).
Bila Anda belum memiliki aplikasi Geogebra silakan download FREEEE!!!!!
klik disini (lihat sebelah kanan atas, tunggu lima detik dan klik skip ad)
semoga membantu
A. Raditya
Tuesday, December 30
Monday, December 29
geogebra101 - Refleksi
Geogebra adalah salah satu software yang dapat Anda gunakan untuk pembeljaran matematika di kelas Anda.
Sekarang kita ngutak-atik geogebra untuk materi geometri (refleksi).
Bila Anda belum memiliki aplikasi Geogebra silakan download FREEEE!!!!!
klik disini (lihat sebelah kanan atas, tunggu lima detik dan klik skip ad)
semoga membantu
A. Raditya
Sekarang kita ngutak-atik geogebra untuk materi geometri (refleksi).
Bila Anda belum memiliki aplikasi Geogebra silakan download FREEEE!!!!!
klik disini (lihat sebelah kanan atas, tunggu lima detik dan klik skip ad)
semoga membantu
A. Raditya
Friday, June 6
Arti sebuah M.Sc dan Ph.D. (Oleh: Iqbal Djawad)
Arti sebuah M.Sc dan Ph.D
Oleh: Iqbal Djawad | 03 April 2013 | 14:35 WIB
Tidak terasa 17 tahun sudah waktu berlalu sejak saya berdiri tegak di hadapan para “kyojukai” Graduate School of Biosphere Sciences, Hiroshima University untuk mempertahankan hasil penelitian selama kurang lebih 6 tahun. Ketika menyelesaikan Master dan Ph.D Course dan berhak untuk mendapatkan gelar M.Sc serta Ph.D, saya mendapatkan tiga lembar dokumen, dokumen 1 adalah Sotsugyo-sho, Sertifikat penghargaan berbahasa Jepang, dokumen ke 2 adalah Sertifikat kelululsan dalam bahasa Inggris dan dokumen yang ke 3 adalah transkrip nilai mata kuliah yang saya ambil selama mengikuti Master Course dalam bahasa Inggris. Jumlah dokumen yang sama, saya terima juga untuk Ph.D Course. Yang menarik keseluruhan mata kuliah yang saya ambil mendapat nilai A. Penilaian mata kuliah hanya dalam huruf A yang berarti Excellence, B berarti Good dan C berarti Passable.
Beberapa hari kemudian, saya menghadap ke Professor pembimbing saya dan memberanikan diri untuk mengajukan “protes” kenapa nilai-nilai saya semuanya Excellence padahal, saya sadar betul kemampuan saya dalam mengikuti beberapa mata kuliah yang pengantarnya bahasa Jepang tidak begitu bagus untuk tidak mengatakan sangat jelek. Penerimaan saya terhadap mata ajaran yang diberikan tidak lebih dari 20%. Sempat terlintas pikiran jelek saya yang mengamini asumsi sementara orang bahwa sekolah di Jepang sangat mudah, yang penting tidak neko-neko, datang pagi dan pulang malam, akhirnya juga akan menjadi Doktor. Saya sempat berpikir, Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau dengan upaya begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, Professor saya mengatakan, di Jepang kami tidak sulit memberi nilai karena filosofi kami mendidik bukan untuk mendapatkan hasil tertinggi yang dikuantifikasi dengan mengkotak-kotakkan kemampuan seseorang. Filosofi kami mendidik adalah untuk mengenal dan melakukan proses penemukenalan mencari kebenaran ilmiah. Selama proses menuju tujuan kebenaran ilmiah yang dilakukan sesuai kaidah-kaidah yang disepakati, angka tidak menjadi penting. Filosofi mendidik kami adalah filosofi gekirei, filosofi mendorong
Percakapan saya dengan Prof. Kenji Namba di tahun ke 3 saya di Hiroshima merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya melihat angka dan nilai. Dari “acara protes” itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Teringat di benak saya betapa mudahnya saya mendapatkan nilai A dari Master dan Ph.D Course. Pada sisi yang lain di Indonesia, saya melihat sulitnya menyelesaikan studi S2 dan S3. Para penguji (kyojukai) siap menerkam dan menyerang dengan pertanyaan di luar konteks penelitian dengan alasan untuk menguji wawasan keilmuan para calon Master dan Doktor. Ada ketidak percayaan diantara penguji dan calon tentang kapabilitas dan proses yang dilakukan oleh para calon. Mungkin inilah penyebab mengapa para penguji mengeluarkan pertanyaan untuk menguji apakah penelitian ini benar-benar dilakukan sendiri, sehingga semangat gekirei untuk mendapatkan ilmu baru jauh panggang dari api. Yang terjadi malahan “perang” konfirmasi. Tidak ada proses gekirei, yang ada proses ketidakpercayaan dan menekan si calon yang hasilnya bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Belakangan saya mengerti bahwa orang yang tertekan ternyata saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Semangat gekirei ini terlihat ketika pertama kali saya mempresentasikan hasil penelitian di Annual Symposium of Fisheries Science di Tokyo tahun 1992. Butuh waktu sebulan untuk berlatih mempresentasikan hasil penelitian dengan waktu yang terbatas. Berhubung pertama kali presentasi di depan ahli-ahli perikanan se Jepang, ada rasa takut yang bercampur dengan ketidakyakinan untuk memberi yang terbaik. Walaupun begitu saya tidak merasa menjadi terdakwa ketika tidak bisa menjelaskan pertanyaan yang diajukan para ahli ini, karena bagaikan seorang pembela, Professor saya berdiri tegak dan mengatakan mahasiswa bimbingan saya ini tahu apa jawabannya tetapi masih terkendala dengan bahasa. Dan semua peserta bertepuk tangan untuk memberi apresiasi kerja penelitian saya. Begitu selanjutnya di acara-acara symposium, peran pembela dari Professor mulai dilepaskan secara perlahan-lahan dan akhirnya menjadi sparring partner yang baik dalam berdiskusi. Pelajaran dari ini semua bahwa melakukan gekirei dengan menerapkan prinsip-prinsip Continous Quality Improvement.
Dua bulan belakangan ini saya disibukkan dengan urusan penyetaraan ijazah SD anak-anak Indonesia yang sekolah di Jepang dan akan kembali ke Indonesia. Berbeda dengan di Indonesia, anak saya yang sekolah di SD Jepang awalnya mengalami kesulitan, walaupun begitu rapornya tidak diberi angka merah untuk mata pelajaran yang dinilai masih harus ditingkatkan, melainkan diberi kalimat yang mendorong untuk bekerja lebih keras, “Vanya wa jūryō de kaishi shimashita. Kanojo wa honki de sore o tameshite mimashita. Shikashi, vanya wa shinchoku jōkyō o shimeshite iru” (Vanya telah memulainya dengan berat. Dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Vanya juga telah menunjukkan kemajuan). Rapor anak-anak SD di Jepang ditulis dalam bentuk verbal. Ini yang menyibukkan saya karena penyetaraan nilai SD di Indonesia harus di kuantifikasi dalam bentuk angka 1-10. Jelas sekali mereka membangun karakter. Semoga ini semua membuka mata kita dengan mencoba melihat dengan kacamata yang berbeda.
Belajar dari pelajaran di atas, sejatinya kita-kita yang berhasil mendapat gelar M.A, M.Sc dan Ph.D serta Dr. Eng di Jepang paham betul arti gekirei itu, minimal melihat bagaimana pendidikan dasar di Jepang meletakkan fondasi gekirei. Semesta selama kita menuntut ilmu di Jepang yang terasa tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Sejatinya ketika kembali ke Indonesia kita harus bisa menghidupkan inisiatif dan menggelorakan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak kita tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau gekirei yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan kita semua dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Akan terasa aneh kalau kebiasaan-kebiasaan serta nilai baik yang di dapat selama di Jepang tidak dapat kita tularkan di Indonesia, sehingga asumsi orang-orang yang mengatakan bahwa mendapatkan gelar M.Sc atau Ph.D di Jepang sangat mudah, bisa dibantah dengan memperlihatkan attitude-attitude dan karya-karya yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bermanfaat buat orang lain.
sumber : https://www.fac ebook.com/notes /negeri-pelangi /arti-sebuah-ms c-dan-phd-oleh- iqbal-djawad/10 151525974148431
Oleh: Iqbal Djawad | 03 April 2013 | 14:35 WIB
Tidak terasa 17 tahun sudah waktu berlalu sejak saya berdiri tegak di hadapan para “kyojukai” Graduate School of Biosphere Sciences, Hiroshima University untuk mempertahankan hasil penelitian selama kurang lebih 6 tahun. Ketika menyelesaikan Master dan Ph.D Course dan berhak untuk mendapatkan gelar M.Sc serta Ph.D, saya mendapatkan tiga lembar dokumen, dokumen 1 adalah Sotsugyo-sho, Sertifikat penghargaan berbahasa Jepang, dokumen ke 2 adalah Sertifikat kelululsan dalam bahasa Inggris dan dokumen yang ke 3 adalah transkrip nilai mata kuliah yang saya ambil selama mengikuti Master Course dalam bahasa Inggris. Jumlah dokumen yang sama, saya terima juga untuk Ph.D Course. Yang menarik keseluruhan mata kuliah yang saya ambil mendapat nilai A. Penilaian mata kuliah hanya dalam huruf A yang berarti Excellence, B berarti Good dan C berarti Passable.
Beberapa hari kemudian, saya menghadap ke Professor pembimbing saya dan memberanikan diri untuk mengajukan “protes” kenapa nilai-nilai saya semuanya Excellence padahal, saya sadar betul kemampuan saya dalam mengikuti beberapa mata kuliah yang pengantarnya bahasa Jepang tidak begitu bagus untuk tidak mengatakan sangat jelek. Penerimaan saya terhadap mata ajaran yang diberikan tidak lebih dari 20%. Sempat terlintas pikiran jelek saya yang mengamini asumsi sementara orang bahwa sekolah di Jepang sangat mudah, yang penting tidak neko-neko, datang pagi dan pulang malam, akhirnya juga akan menjadi Doktor. Saya sempat berpikir, Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau dengan upaya begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, Professor saya mengatakan, di Jepang kami tidak sulit memberi nilai karena filosofi kami mendidik bukan untuk mendapatkan hasil tertinggi yang dikuantifikasi dengan mengkotak-kotakkan kemampuan seseorang. Filosofi kami mendidik adalah untuk mengenal dan melakukan proses penemukenalan mencari kebenaran ilmiah. Selama proses menuju tujuan kebenaran ilmiah yang dilakukan sesuai kaidah-kaidah yang disepakati, angka tidak menjadi penting. Filosofi mendidik kami adalah filosofi gekirei, filosofi mendorong
Percakapan saya dengan Prof. Kenji Namba di tahun ke 3 saya di Hiroshima merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya melihat angka dan nilai. Dari “acara protes” itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Teringat di benak saya betapa mudahnya saya mendapatkan nilai A dari Master dan Ph.D Course. Pada sisi yang lain di Indonesia, saya melihat sulitnya menyelesaikan studi S2 dan S3. Para penguji (kyojukai) siap menerkam dan menyerang dengan pertanyaan di luar konteks penelitian dengan alasan untuk menguji wawasan keilmuan para calon Master dan Doktor. Ada ketidak percayaan diantara penguji dan calon tentang kapabilitas dan proses yang dilakukan oleh para calon. Mungkin inilah penyebab mengapa para penguji mengeluarkan pertanyaan untuk menguji apakah penelitian ini benar-benar dilakukan sendiri, sehingga semangat gekirei untuk mendapatkan ilmu baru jauh panggang dari api. Yang terjadi malahan “perang” konfirmasi. Tidak ada proses gekirei, yang ada proses ketidakpercayaan dan menekan si calon yang hasilnya bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Belakangan saya mengerti bahwa orang yang tertekan ternyata saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Semangat gekirei ini terlihat ketika pertama kali saya mempresentasikan hasil penelitian di Annual Symposium of Fisheries Science di Tokyo tahun 1992. Butuh waktu sebulan untuk berlatih mempresentasikan hasil penelitian dengan waktu yang terbatas. Berhubung pertama kali presentasi di depan ahli-ahli perikanan se Jepang, ada rasa takut yang bercampur dengan ketidakyakinan untuk memberi yang terbaik. Walaupun begitu saya tidak merasa menjadi terdakwa ketika tidak bisa menjelaskan pertanyaan yang diajukan para ahli ini, karena bagaikan seorang pembela, Professor saya berdiri tegak dan mengatakan mahasiswa bimbingan saya ini tahu apa jawabannya tetapi masih terkendala dengan bahasa. Dan semua peserta bertepuk tangan untuk memberi apresiasi kerja penelitian saya. Begitu selanjutnya di acara-acara symposium, peran pembela dari Professor mulai dilepaskan secara perlahan-lahan dan akhirnya menjadi sparring partner yang baik dalam berdiskusi. Pelajaran dari ini semua bahwa melakukan gekirei dengan menerapkan prinsip-prinsip Continous Quality Improvement.
Dua bulan belakangan ini saya disibukkan dengan urusan penyetaraan ijazah SD anak-anak Indonesia yang sekolah di Jepang dan akan kembali ke Indonesia. Berbeda dengan di Indonesia, anak saya yang sekolah di SD Jepang awalnya mengalami kesulitan, walaupun begitu rapornya tidak diberi angka merah untuk mata pelajaran yang dinilai masih harus ditingkatkan, melainkan diberi kalimat yang mendorong untuk bekerja lebih keras, “Vanya wa jūryō de kaishi shimashita. Kanojo wa honki de sore o tameshite mimashita. Shikashi, vanya wa shinchoku jōkyō o shimeshite iru” (Vanya telah memulainya dengan berat. Dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Vanya juga telah menunjukkan kemajuan). Rapor anak-anak SD di Jepang ditulis dalam bentuk verbal. Ini yang menyibukkan saya karena penyetaraan nilai SD di Indonesia harus di kuantifikasi dalam bentuk angka 1-10. Jelas sekali mereka membangun karakter. Semoga ini semua membuka mata kita dengan mencoba melihat dengan kacamata yang berbeda.
Belajar dari pelajaran di atas, sejatinya kita-kita yang berhasil mendapat gelar M.A, M.Sc dan Ph.D serta Dr. Eng di Jepang paham betul arti gekirei itu, minimal melihat bagaimana pendidikan dasar di Jepang meletakkan fondasi gekirei. Semesta selama kita menuntut ilmu di Jepang yang terasa tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Sejatinya ketika kembali ke Indonesia kita harus bisa menghidupkan inisiatif dan menggelorakan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak kita tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau gekirei yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan kita semua dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Akan terasa aneh kalau kebiasaan-kebiasaan serta nilai baik yang di dapat selama di Jepang tidak dapat kita tularkan di Indonesia, sehingga asumsi orang-orang yang mengatakan bahwa mendapatkan gelar M.Sc atau Ph.D di Jepang sangat mudah, bisa dibantah dengan memperlihatkan attitude-attitude dan karya-karya yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bermanfaat buat orang lain.
sumber : https://www.fac
Wednesday, May 28
mathstory - Solusi Persamaan Kuadrat pada era Babylon
Misalkan kita memiliki sebuah tanah/bidang segiempat dengan
luas 55 unit.
Diketahui bahwa panjang bidang tersebut 6 lebih panjang
daripada lebarnya, atau dapat diilustrasikan
sebagai berikut
Kemudian kita bagi panjang bidang tersebut menjadi 3 dan x
+3, sehingga terbagi menjadi bidang A
dan bidang B seperti berikut:
Selanjutnya kita geser bidang B hingga seperti ini
Perhatikan!! Kita akan buat bidang C dengan luas 9 unit.
Sekarang luas bidang A + bidang B + bidang C = 55 unit + 9
unit = 64 unit
Satu hal yang menarik adalah ternyata bidang A + bidang B +
bidang C merupakan bidang persegi dengan luas 64 unit, sehingga masing-masing
sisi berukuran 8 unit. Di sisi lain kita mengetahui bahwa ukuran sisi persegi
tersebut adalah x + 3.
Jadi,
x + 3 = 8 è x = 5
Kita, kembali lagi ke soal awal
Jika nilai x = 5 kita merupakan lebar persegi panjang,
maka panjang persegi panjang adalah x + 6 = 5 + 6 = 11 unit.
Begitulah dahulu cara orang-orang pada era Babilonia untuk
menentukan solusi persamaan kuadrat dengan kegiatan eksplorasi.
Selamat belajar
sumber:
salah satu scene di acara tv BBC "The Language of the Universe" yang di asuh oleh Marcus du Sautoy (Professor for the Public Understanding of Science and a Professor of Mathematics at the University of Oxford).
ditulis kembali oleh:
Aji Raditya & Gianinna Ardaneswari
Saturday, March 29
Ketekunan yang Langka
Ketekunan yang Langka
Oleh: Prof.Dr.Ir. Andi Hakim Nasoetion*
SEORANG dosen kembali dari Tokyo membawa gelar Magister Sains Genetika Ikan. Ia melapor akan keberhasilannya itu. Yang ditanyakan rektornya ialah apa yang membuatnya terkesan dengan program pendidikan pascasarjana di Jepang. Maka ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, seumur-umurnya baru pada ketika itu ia selama bangun hanya memikirkan dan berbicara tentang ikan atau tentang genetika atau tentang genetika ikan. Pagi hari ketika sarapan ia berbincang dengan kawan sekerjanya tentang perilaku ikan. Di dalam laboratorium ia diajak berdiskusi mengenai DNA oleh dosennya, dan sewaktu makan siang di sela-sela memotong-motong filet tongkol, ia berbincang tentang daerah penangkapan tongkol di daerah Kepulauan Aru. Malam harinya sewaktu tidur, ia bermimpi tentang ikan. Tidak diceritakannya apakah sebelum bermimpi mengenai ikan itu keesokan harinya ia menang undian berhadiah (karena ada satu mitos jika mimpi mendapatkan ikan akan ketiban rejeki).
Kemudian lagi rektornya bertanya kepadanya peristiwa apa yang paling mengagetkan yang dihadapinya di kampus asalnya sewaktu ia kembali mengajar. Ternyata ia terkejut sekali ketika melihat warga kampus sewaktu sedang beristirahat tidak berbincang mengenai ilmu yang harus ditekuni-nya, melainkan mengenai upaya mengokohkan iman dan bagaimana caranya berperilaku sesuai dengan iman mereka masing-masing.
Tidak ada lagi yang mereka perbincangkan selain bagaimana caranya mendukung perjuangan umat yang seiman. Kalau pun ada bedah buku diantara sesama mahasiswa, maka pokok bahasan bedah buku itu menyangkut masalah yang ada di luar jangkauan, seperti misalnya di Palestina atau Bosnia. Masalah yang kalau hanya dibicarakan tidak ada selesai-selesainya.
Ini mengingatkan rektornya akan peristiwa seorang anggota tim olimpiade matematika internasional asal Denmark berbincang-bincang dengan anggota tim dari Norwegia tentang penyelesaian sebuah masalah matematika yang memerlukan pengetahuan tentang teori Galois. Percakapan itu mereka lakukan ketika sedang berpesiar dengan kapal di Laut Bosporus. Apa yang dilakukan di Jepang dan Laut Bosporus itu adalah teladan tentang ketekunan yang diungkapkan ilmuwan biologi dan calon ilmuwan matematika ketika mereka sudah bertekad memilih bidang ilmu itu sebagai perhatian pokok dalam perjalanan hidup mereka. Hasilnya adalah bahwa mereka akhirnya mendalami benar bidang ilmu genetika atau matematika itu dan bukan hanya sekadar pengetahuan tipe-tipe sosial.
Beberapa waktu lalu biologiawan IPB mendapatkan penghargaan akademik dari suatu yayasan. Untuk itu ia diberi tunjangan penelitian kira-kira 40.000 dolar AS. Orang ini dikenal sangat menekuni bidang ilmunya. Demikian pula ada seorang dosen yang mendapat hadiah penelitian dalam bidang ilmu serangga dan lingkungan. Ia juga selalu tekun bekerja dalam bidang ilmunya sendiri. Sama halnya dengan dosen Fakultas Peternakan Unsoed yang di Australia menemukan cara penyimpanan mani beku sapi di dalam tabung sedotan yang terbuat dari plastik setelah usahanya berkali-kali gagal. Untuk itu ia menerima hadiah medali emas penelitian Yayasan Hewlett-Packard.
Ketekunan ketiganya itu tentu saja didampingi oleh kalayak akademik yang tinggi. Namun kalayak akademik yang tinggi saja belum cukup untuk membuahkan hasil penelitian yang cemerlang. Diperlukan kreativitas dan ketekunan melakukan tugas yang tinggi. Ketiga ciri ini yang seharusnya dimiliki oleh orang berbakat yang pekerjaannya adalah menciptakan pengetahuan baru dan atau memperbaiki manfaat suatu pengetahuan.
Apakah di masyarakat akademik perguruan tinggi kita suasana ketekunan dan kesetiaan menangani tugas itu ada atau tidak ada, dapat dirangkum dari poster-poster yang ditempelkan di mana saja di dalam kampus yang dapat dilekati kertas. Sayang sekali, pengumuman yang memenuhi dinding kampus bukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu yang ditekuninya, melain-kan mengenai siraman rohani, bedah buku tentang solidaritas Palestina dan berbagai diskusi mengenai berbagai kebobrokan yang terjadi di tanah air.
Tidak ada gagasan-gagasan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang diperbicangkan. Tentu saja kita harus peduli mengenai pemeliharaan iman, solidaritas keimanan hingga aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kalau yang ditangani hanya itu saja, tidak perlu susah-susah belajar di perguruan tinggi, kecuali kalau kita hanya bermaksud mendapatkan gelar dan ijasah saja, bukan kemampuan dan keahliannya. Jika hanya itu yang kita inginkan, lebih baik mengikuti ujian persamaan B.Sc, M.Sc, Ph.D dan MBA di berbagai yayasan “gombal”.
Bagaimana lulusan perguruan tinggi di Indonesia dapat mengimbangi kemampuan akademik lulusan perguruan tinggi yang sudah mapan di negara maju kalau yang ditekuninya selama belajar di perguruan tinggi bukanlah bidang ilmunya sendiri. Apakah dengan “kematangan bermasyarakat” dengan berkonsentrasi penuh ke kegiatan ekstra kurikuler kita mampu menjadi ilmuwan bertaraf internasional?
Melalui media internet saya pernah diserang habis-habisan ketika yang menjadi pemenang medali perunggu pada olimpiade matematika tingkat Asia Pasifik dan olimpiade matematika internasional hanyalah siswa SMU yang bertapak di Jawa. Ketika itu saya dituduh mendiskriminasikan mereka yang berasal dari Luar Jawa. Hujatan itu memang pantas muncul di zaman reformasi seperti sekarang. Namun seharusnya penghujat yang notabene mahasiswa pascasarjana matematika itu mesti menggunakan nalarnya dan bukan pemikiran dengkulnya. Peraih medali perunggu itu ternyata adalah siswa-siswa yang dengan kecintaan menekuni matematika dan kebanyakan dari mereka berasal dari sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat (swasta), bukan dari sekolah yang diselenggarakan negara (negeri). Atau kalau ia berasal dari sekolah yang diselenggarakan negara, lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang menghargai ketekunan kerja. Siapa mereka itu? Boleh ditebak sendiri, lingkungan keluarga yang mana yang dapat membedakan kapan harus menekuni pelajaran tentang keimanan dan ilmu naqliah dan kapan lagi harus tekun menuntut ilmu aqliah.
Karena itu, hendaknya semua orang yang sedang belajar apa saja, untuk tekun mempelajari apa yang seharusnya dipelajarinya agar mendapatkan kelayakan profesional di dalam bidang yang diminatinya. Jangan terjerumus ke zaman Firaun, ketika seleksi menjadi ahli bedah otak dilakukan dengan cara berendam semalam suntuk di Sungai Nil. Jangan juga terjerumus ke keadaan di Pakistan, ketika seorang Ph.D Fisika Nuklir lulusan MIT melamar menjadi tenaga akademik. Pertanyaan penguji bukan hal-hal yang pelik mengenai dentuman besar (big bang). Sederhana saja, namun cukup mengejutkan karena Doktor Fisika itu diminta melafalkan Doa Qunut. Jika ia tidak hafal doa Qunut, maka pastilah ia seorang Wahabi.
Mari kita renungkan, apa saja yang dapat kita perbaiki mengenai kehidupan akademik di kampus, baik oleh tenaga akademik, tenaga administrasi maupun mahasiswa. Jika mahasiswa berlaku seperti itu, seharusnya tenaga akademiknya merasa bersalah, karena hal itu pertanda bahwa tenaga akademik belum dapat membawakan suasana akademik ke dalam kampus, termasuk membawa mahasiswanya ke suasana ingin mengetahui.
Pernah seorang dewan penyantun suatu universitas besar di Jakarta yang diselenggarakan masyarakat bertanya pada saya, universitas apa di Indonesia yang suasana akademiknya sudah menyamai suatu universitas penelitian. Jawab saya dengan tegas, belum ada. Dan ketika ia menanyakan alasannya, saya katakan bahwa di kampus saat ini banyak mahasiswa termasuk juga mahasiswa pascasarjana serta dosen hanya menghadiri seminar karena harus menandatangani daftar hadir. Kalau kurang tandatangan di daftar hadir, ada kemungkinan ia tidak boleh ikut ujian atau kredit kenaikan pangkatnya tidak cukup. Kalau begitu halnya, di kampus kita orang hadir di seminar bukan karena ingin tahu lebih banyak, melainkan karena takut tidak lulus ujian atau tidak naik pangkat.***
*Andi Hakim Nasoetion (1932-2002) adalah Guru Besar Statistika IPB, yang pernah menjadi Rektor IPB pada 1978-1987.
Wednesday, March 26
Subscribe to:
Posts (Atom)