Sebuah Gaya Pasar Bebas | ||
Apa Sebenarnya Cerita Dibalik Tiket Murah? |
Jakarta, Radar Online
Kamis, 02/08/2012 [16:40:52]
|
(http://www.radaronline.co.id/berita/read/20481/2012/Apa-Sebenarnya-Cerita-Dibalik-Tiket-Murah#Event%20dan%20Seminar)
Seorang mantan pengelola sebuah perusahaan penerbangan swasta yang pernah berjaya di masa Soeharto tapi kini sudah rontok, Hasan Soedjono, pernah menulis di Buletin s2b tentang lika-liku di belakang tarif murah ini. Sebuah tulisan menarik. Kita sarikan dan paparkan ulang di bagian berikut. Sama menariknya, sebenarnya adalah Buletin s2b itu, sebuah media uneg-uneg dari seorang tokoh gerakan mahasiswa 1966, RAF Mully yang kini sudah almarhum. Sambil memuat tulisan Hasan Soedjono pada edisi Februari 2005, RAF Mully, memberi komentar pendahuluan bahwa tarif murah yang ditawarkan beberapa perusahaan penerbangan waktu itu, fantastis murah sehingga seringkali terasa tak masuk akal lagi.
“Pikiran kita jadi menyeleweng, jangan-jangan pesawat yang dipakai adalah kotak sabun yang dimake-up”. Atau, “ada subsidi gelap dari pemerintah, karena yang empunya maskapai penerbangan adalah anaknya pejabat”.
Algoritma John Forbes Nash. SEMUA airline yang menggunakan CRS (computerized reservation system) berkecenderungan kuat mengaplikasikan software (peranti lunak) “revenue management”. Peranti lunak yang dipakai CRS airline menggunakan algoritma temuan John Forbes Nash, seorang ahli matematika dari Princeton University, pemenang Hadiah Nobel 1994 dalam ekonomi. Penemuan John Forbes Nash itu adalah algoritma pemecahan bidding strategy, yang akan konsisten membuat pasar yang tidak adil dan rata tingkat pemilikan informasinya, tetap menjadi lebih efisien. Aplikasi komersial yang pertama dari terobosan John Nash itu, memang adalah untuk airlines reservations.
...
Tugas dari revenue management software adalah untuk mengoptimasi yield (harga tiket tempat duduk) untuk setiap penerbangan. Prinsipnya, mengisi pesawat semaksimal mungkin, yang terdiri dari berlapis tarif untuk setiap tempat duduk yang ditawarkan. Kuncinya adalah bagaimana menyiasati pasar meski diliputi ketidakpastian. Apakah informasi yang dimiliki demand-side (calon penumpang) yang tidak dimiliki oleh supply-side (maskapai penerbangan)? Apa yang tidak diketahui maskapai penerbangan secara pasti adalah apakah si pemesan tempat memang akan sungguh-sungguh terbang. Hanya si pemesan tempat lah yang tahu parameter tersebut. Sebaliknya, informasi apakah yang tidak diketahui konsumen, tetapi hanya diketahui produsen (maskapai penerbangan)? Tak lain adalah jumlah kursi yang tersedia. Hanya maskapai penerbangan yang tahu, tetapi konsumen tak tahu. Dinamika untuk bidding dalam situasi di mana semua pemain tidak memiliki informasi lengkap inilah yang dipelajari ahli matematika dari Princeton tersebut.
Dinamika pasar sebenarnya sederhana saja. Semakin dini sang produsen (maskapai penerbangan) mendapat kepastian penumpang yang akan berangkat –atau dengan kata lain, semakin dini ketidakpastian yang biasanya diderita oleh produsen berubah menjadi kepastian– maka semakin rela pula maskapai penerbangan membayar mahal untuk informasi dini itu. Cara membayarnya? Tak lain, dengan memberi diskon tebal alias tarif murah. Di lain pihak, semakin mundur kepastian tersebut diperoleh, maka sang konsumen harus membayar lebih mahal karena menikmati tenggang waktu sampai mepet batas atau deadline sebelum harus memastikan pesanannya.
Meski Garuda dan berbagai perusahaan penerbangan lainnya juga memakai revenue management software, tetapi hanya Air Asia (dulu Awair) dan Lion Air yang tampaknya ‘paling mengerti’ bagaimana mendongkraknya supaya menjadi buah bibir masyarakat. Caranya sederhana saja. Katakan, sebuah pesawat memiliki kapasitas 100 kursi. Masing-masing direktur komersial setiap maskapai penerbangan bebas menetapkan beberapa class dan atau sub-class yang ingin ia berlakukan. Ekstrimnya, karena ada 100 kursi, maka 100 sub-class pun bisa di-input ke dalam software revenue management. Bagaimana masing-masing sub-class terisi? Berapa kursi untuk setiap sub-class?
Apa boleh buat, kapitalistik-liberal. Keputusan diserahkan kepada software. Selain mengamati dinamika reservasi yang berjalan, sang software mengadakan regresi dari korelasi ke semua penerbangan sebelumnya. software juga membandingkan untuk setiap saat, berapa pesanan masuk (reservations), dan berapa yang terealisir (confirmed departures). Data inilah yang akan memandu software untuk membagi sub-class secara optimal untuk semua penerbangan yang sedang ditawarkan ke pasar tetapi belum diterbangkan. Sementara Garuda dan Merpati hanya menetapkan, katakan saja, 5 sub-class, maka Air Asia dan Lion Air menetapkan 20 sub-class. Dengan sendirinya sub-class Lion Air yang termurah jauh akan lebih rendah dari sub-class Garuda yang termurah.
Air Asia dan Lion Air mengiklankan sub-class mereka yang termurah, tetapi yang bisa menikmati harga tersebut hanyalah mereka yang memesan dari jauh hari, dan pasti berangkat. Dan maskapai penerbangan tersebut memastikan pasar sangat mengerti bahwa ada tiket super murah. Mereka juga memastikan bahwa pasar tidak menyadari bahwa yang dimaksudkan adalah: “selama ada persediaan”. Mereka yang sekedar tergiur akan adanya berita tiket super murah ke Bali, cenderung tidak langsung memanfaatkannya (bahkan meneruskan berita bagus tersebut ke relasi lain). Nah, kelambanan seperti itulah yang mendongkrak harga naik. Pada saat seseorang akhirnya memutuskan jadi berangkat, harga tiket sudah tidak lagi super murah seperti yang “dihembuskan semua orang”. Tanyakan saja kepada yang pernah naik pesawat maskapai-maskapai penerbangan yang berkonsep ‘tiket murah’, apakah benar mereka membayar sesuai dengan tarif di iklan? Toh, tak urung ‘suggesti’ yang berhasil ditanamkan di kepala publik tentang adanya tiket murah, pada akhirnya menciptakan keyakinan kebanyakan masyarakat bahwa tarif pesawat terbang saat ini lebih murah dari masa-masa yang lalu. Makin berduyun-duyunlah orang naik pesawat terbang. Sebagian untuk tujuan produktif dan mungkin mendesak, tapi tak kalah banyaknya, “ya, naik pesawat saja, mumpung murah”.
Makanya, rahasia maskapai penerbangan yang paling harus dijaga adalah jumlah rencana produksi, dan jumlah seat yang belum terjual. Dalam dunia maskapai penerbangan, diistilahkan sebagai inventory. Tidak akan pernah sekalipun sebuah airlines memberikan informasi berapa seat yang masih tersedia (belum terjual). Portal-portal travel hanya bisa menjamin “x” kursi, tetapi tidak pernah bisa menawarkan seluruh sisa tempat duduk pesawat. Hanya pihak airline yang boleh tahu berapa kursi masih tersisa. Apa boleh buat, memang sebuah gaya yang beraroma kapitalistik-liberal yang betul-betul menganut pasar bebas berdasarkan supply and demand.
TAK lupa, bagi para pemudik lebaran yang menggunakan pesawat terbang, selamat menikmati penerbangan anda. Mohon maaf lahir batin, kalau ternyata tiketnya sangat tidak murah. Maklum, lebaran.
======================================================================
FYI, Biografi John Nash pernah diabadikan dalam buku dan film yg berjudul "A Beautiful Mind"
Selamat membaca/menonton...