Berdasarkan UU nomor 14
tahun 2005 pasal 6, tujuan Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Apakah dengan
dilaksanakannya UN kita semakin dekat dengan tujuan pendidikan nasional yang
diamanatkan oleh undang-undang? Menurut Saya tidak.
Komposisi soal UN yang terdiri
dari soal-soal multiple choice memberikan
masalah tersendiri. Apabila kita mengacu pada taksonomi Bloom, kegiatan
evaluasi terdiri atas evaluasi terhadap kemampuan afektif, kognitif dan psikomotorik.
Pada soal-soal multiple choice sulit
untuk menilai kemapuan afektif dan psikomotorik siswa, sehingga tingginya nilai
UN selama ini sebenarnya merupakan cerminan dari kemampuan dan kualitas
kognitif siswa di Indonesia. Selain itu beberapa penelitian mengungkapkan bahwa
butir soal UN belum termasuk kategori HOT (Higher
Order Thinking) atau dapat dikatakan
bahwa soal UN hanyalah jenis soal untuk mengetahui kemampuan kognitif tingkat
rendah siswa.
Selain hanya mengukur
kemampuan kognitif tingkat rendah siswa, UN pun gagal untuk mengukur kemampuan
afektif siswa. Tentu kita masih ingat tentang kasus Siami, seseorang yang
dengan tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya malah berakibat ajur (Kompas.com - 15/06/2011). Al (anak Siami) diplot memberikan
contekan pada teman satu kelasnya setelah sebelumnya sempat dilakukan simulasi
memberikan contekan. Selanjutnya, pada (tirto.id – 7 Desember 2016) Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa “kecurangan
UN di sekolah pelakunya adalah guru di sekolah tersebut”. Bila kita mengambil definisi
ranah afektif menurut Krathwolh, maka dari kedua contoh kasus di atas sudah
tentu siswa tidak dapat belajar mengenai nilai (value), terutama tentang nilai kejujuran.
Berdasarkan paparan di
atas solusi yang ditawakan adalah HAPUS UN, dengan ditiadakannya UN diharapkan
siswa dan guru di sekolah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran tanpa harus
“kejar (target) materi”. Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak melulu diisi
dengan drill & practice yang
dilakukan untuk menaklukan soal UN, tetapi kegiatan pembelajaran lebih
eksploratif dan kontekstual sehingga kegiatan pembelajaran lebih bermakna bagi
siswa. Alasan lainnya adalah pada jenjang berikutnya setelah SMU, baik melanjutkan
ke perguruan tinggi atau bekerja, memiliki sistem tes atau seleksi sendiri yang
terbukti cukup baik hingga saat ini. Apabila mahasiswa SMU/SMK akan melanjutkan
ke jenjang Pendidikan yang lebih tinggi, misal Strata 1 (baik di dalam maupun
luar negeri), siswa harus mengikuti tes (SBMPTN untuk kampus negeri di dalam
negeri, SAT untuk masuk ke kampus di Amerika Serikat dan beberapa jenis yang
lain sesuai persyaratan perguruan tinggi). Bila siswa SMU/SMK ingin langsung
berkarir di sebuah perusahaan, siswa juga akan mengikuti tes yang
diselenggarakan perusahaan tersebut (biasanya dengan bantuan pihak ketiga misal:
Lembaga psikologi untuk tes psikotes) dan kemudian akan mendapatkan pelatihan serta
orientasi (biasanya selama 3 atau 6 bulan) sesuai bidang pekerjaan yang
diambil.