Sunday, December 3

Saya Tentang UN (Ujian Nasional)


Berdasarkan UU nomor 14 tahun 2005 pasal 6, tujuan Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Apakah dengan dilaksanakannya UN kita semakin dekat dengan tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan oleh undang-undang? Menurut Saya tidak.

Komposisi soal UN yang terdiri dari soal-soal multiple choice memberikan masalah tersendiri. Apabila kita mengacu pada taksonomi Bloom, kegiatan evaluasi terdiri atas evaluasi terhadap kemampuan afektif, kognitif dan psikomotorik. Pada soal-soal multiple choice sulit untuk menilai kemapuan afektif dan psikomotorik siswa, sehingga tingginya nilai UN selama ini sebenarnya merupakan cerminan dari kemampuan dan kualitas kognitif siswa di Indonesia. Selain itu beberapa penelitian mengungkapkan bahwa butir soal UN belum termasuk kategori HOT (Higher Order Thinking) atau  dapat dikatakan bahwa soal UN hanyalah jenis soal untuk mengetahui kemampuan kognitif tingkat rendah siswa.

Selain hanya mengukur kemampuan kognitif tingkat rendah siswa, UN pun gagal untuk mengukur kemampuan afektif siswa. Tentu kita masih ingat tentang kasus Siami, seseorang yang dengan tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya malah berakibat ajur (Kompas.com - 15/06/2011). Al (anak Siami) diplot memberikan contekan pada teman satu kelasnya setelah sebelumnya sempat dilakukan simulasi memberikan contekan. Selanjutnya, pada (tirto.id – 7 Desember 2016) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa “kecurangan UN di sekolah pelakunya adalah guru di sekolah tersebut”. Bila kita mengambil definisi ranah afektif menurut Krathwolh, maka dari kedua contoh kasus di atas sudah tentu siswa tidak dapat belajar mengenai nilai (value), terutama tentang nilai kejujuran. 


Berdasarkan paparan di atas solusi yang ditawakan adalah HAPUS UN, dengan ditiadakannya UN diharapkan siswa dan guru di sekolah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran tanpa harus “kejar (target) materi”. Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak melulu diisi dengan drill & practice yang dilakukan untuk menaklukan soal UN, tetapi kegiatan pembelajaran lebih eksploratif dan kontekstual sehingga kegiatan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Alasan lainnya adalah pada jenjang berikutnya setelah SMU, baik melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja, memiliki sistem tes atau seleksi sendiri yang terbukti cukup baik hingga saat ini. Apabila mahasiswa SMU/SMK akan melanjutkan ke jenjang Pendidikan yang lebih tinggi, misal Strata 1 (baik di dalam maupun luar negeri), siswa harus mengikuti tes (SBMPTN untuk kampus negeri di dalam negeri, SAT untuk masuk ke kampus di Amerika Serikat dan beberapa jenis yang lain sesuai persyaratan perguruan tinggi). Bila siswa SMU/SMK ingin langsung berkarir di sebuah perusahaan, siswa juga akan mengikuti tes yang diselenggarakan perusahaan tersebut (biasanya dengan bantuan pihak ketiga misal: Lembaga psikologi untuk tes psikotes)  dan kemudian akan mendapatkan pelatihan serta orientasi (biasanya selama 3 atau 6 bulan) sesuai bidang pekerjaan yang diambil.