Saturday, March 29

Ketekunan yang Langka


Ketekunan yang Langka

Oleh: Prof.Dr.Ir. Andi Hakim Nasoetion*

SEORANG dosen kembali dari Tokyo membawa gelar Magister Sains Genetika Ikan. Ia melapor akan keberhasilannya itu. Yang ditanyakan rektornya ialah apa yang membuatnya terkesan dengan program pendidikan pascasarjana di Jepang. Maka ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, seumur-umurnya baru pada ketika itu ia selama bangun hanya memikirkan dan berbicara tentang ikan atau tentang genetika atau tentang genetika ikan. Pagi hari ketika sarapan ia berbincang dengan kawan sekerjanya tentang perilaku ikan. Di dalam laboratorium ia diajak berdiskusi mengenai DNA oleh dosennya, dan sewaktu makan siang di sela-sela memotong-motong filet tongkol, ia berbincang tentang daerah penangkapan tongkol di daerah Kepulauan Aru. Malam harinya sewaktu tidur, ia bermimpi tentang ikan. Tidak diceritakannya apakah sebelum bermimpi mengenai ikan itu keesokan harinya ia menang undian berhadiah (karena ada satu mitos jika mimpi mendapatkan ikan akan ketiban rejeki).
Kemudian lagi rektornya bertanya kepadanya peristiwa apa yang paling mengagetkan yang dihadapinya di kampus asalnya sewaktu ia kembali mengajar. Ternyata ia terkejut sekali ketika melihat warga kampus sewaktu sedang beristirahat tidak berbincang mengenai ilmu yang harus ditekuni-nya, melainkan mengenai upaya mengokohkan iman dan bagaimana caranya berperilaku sesuai dengan iman mereka masing-masing.
Tidak ada lagi yang mereka perbincangkan selain bagaimana caranya mendukung perjuangan umat yang seiman. Kalau pun ada bedah buku diantara sesama mahasiswa, maka pokok bahasan bedah buku itu menyangkut masalah yang ada di luar jangkauan, seperti misalnya di Palestina atau Bosnia. Masalah yang kalau hanya dibicarakan tidak ada selesai-selesainya.
Ini mengingatkan rektornya akan peristiwa seorang anggota tim olimpiade matematika internasional asal Denmark berbincang-bincang dengan anggota tim dari Norwegia tentang penyelesaian sebuah masalah matematika yang memerlukan pengetahuan tentang teori Galois. Percakapan itu mereka lakukan ketika sedang berpesiar dengan kapal di Laut Bosporus. Apa yang dilakukan di Jepang dan Laut Bosporus itu adalah teladan tentang ketekunan yang diungkapkan ilmuwan biologi dan calon ilmuwan matematika ketika mereka sudah bertekad memilih bidang ilmu itu sebagai perhatian pokok dalam perjalanan hidup mereka. Hasilnya adalah bahwa mereka akhirnya mendalami benar bidang ilmu genetika atau matematika itu dan bukan hanya sekadar pengetahuan tipe-tipe sosial.
Beberapa waktu lalu biologiawan IPB mendapatkan penghargaan akademik dari suatu yayasan. Untuk itu ia diberi tunjangan penelitian kira-kira 40.000 dolar AS. Orang ini dikenal sangat menekuni bidang ilmunya. Demikian pula ada seorang dosen yang mendapat hadiah penelitian dalam bidang ilmu serangga dan lingkungan. Ia juga selalu tekun bekerja dalam bidang ilmunya sendiri. Sama halnya dengan dosen Fakultas Peternakan Unsoed yang di Australia menemukan cara penyimpanan mani beku sapi di dalam tabung sedotan yang terbuat dari plastik setelah usahanya berkali-kali gagal. Untuk itu ia menerima hadiah medali emas penelitian Yayasan Hewlett-Packard.
Ketekunan ketiganya itu tentu saja didampingi oleh kalayak akademik yang tinggi. Namun kalayak akademik yang tinggi saja belum cukup untuk membuahkan hasil penelitian yang cemerlang. Diperlukan kreativitas dan ketekunan melakukan tugas yang tinggi. Ketiga ciri ini yang seharusnya dimiliki oleh orang berbakat yang pekerjaannya adalah menciptakan pengetahuan baru dan atau memperbaiki manfaat suatu pengetahuan.
Apakah di masyarakat akademik perguruan tinggi kita suasana ketekunan dan kesetiaan menangani tugas itu ada atau tidak ada, dapat dirangkum dari poster-poster yang ditempelkan di mana saja di dalam kampus yang dapat dilekati kertas. Sayang sekali, pengumuman yang memenuhi dinding kampus bukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu yang ditekuninya, melain-kan mengenai siraman rohani, bedah buku tentang solidaritas Palestina dan berbagai diskusi mengenai berbagai kebobrokan yang terjadi di tanah air.
Tidak ada gagasan-gagasan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang diperbicangkan. Tentu saja kita harus peduli mengenai pemeliharaan iman, solidaritas keimanan hingga aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kalau yang ditangani hanya itu saja, tidak perlu susah-susah belajar di perguruan tinggi, kecuali kalau kita hanya bermaksud mendapatkan gelar dan ijasah saja, bukan kemampuan dan keahliannya. Jika hanya itu yang kita inginkan, lebih baik mengikuti ujian persamaan B.Sc, M.Sc, Ph.D dan MBA di berbagai yayasan “gombal”.
Bagaimana lulusan perguruan tinggi di Indonesia dapat mengimbangi kemampuan akademik lulusan perguruan tinggi yang sudah mapan di negara maju kalau yang ditekuninya selama belajar di perguruan tinggi bukanlah bidang ilmunya sendiri. Apakah dengan “kematangan bermasyarakat” dengan berkonsentrasi penuh ke kegiatan ekstra kurikuler kita mampu menjadi ilmuwan bertaraf internasional?
Melalui media internet saya pernah diserang habis-habisan ketika yang menjadi pemenang medali perunggu pada olimpiade matematika tingkat Asia Pasifik dan olimpiade matematika internasional hanyalah siswa SMU yang bertapak di Jawa. Ketika itu saya dituduh mendiskriminasikan mereka yang berasal dari Luar Jawa. Hujatan itu memang pantas muncul di zaman reformasi seperti sekarang. Namun seharusnya penghujat yang notabene mahasiswa pascasarjana matematika itu mesti menggunakan nalarnya dan bukan pemikiran dengkulnya. Peraih medali perunggu itu ternyata adalah siswa-siswa yang dengan kecintaan menekuni matematika dan kebanyakan dari mereka berasal dari sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat (swasta), bukan dari sekolah yang diselenggarakan negara (negeri). Atau kalau ia berasal dari sekolah yang diselenggarakan negara, lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang menghargai ketekunan kerja. Siapa mereka itu? Boleh ditebak sendiri, lingkungan keluarga yang mana yang dapat membedakan kapan harus menekuni pelajaran tentang keimanan dan ilmu naqliah dan kapan lagi harus tekun menuntut ilmu aqliah.
Karena itu, hendaknya semua orang yang sedang belajar apa saja, untuk tekun mempelajari apa yang seharusnya dipelajarinya agar mendapatkan kelayakan profesional di dalam bidang yang diminatinya. Jangan terjerumus ke zaman Firaun, ketika seleksi menjadi ahli bedah otak dilakukan dengan cara berendam semalam suntuk di Sungai Nil. Jangan juga terjerumus ke keadaan di Pakistan, ketika seorang Ph.D Fisika Nuklir lulusan MIT melamar menjadi tenaga akademik. Pertanyaan penguji bukan hal-hal yang pelik mengenai dentuman besar (big bang). Sederhana saja, namun cukup mengejutkan karena Doktor Fisika itu diminta melafalkan Doa Qunut. Jika ia tidak hafal doa Qunut, maka pastilah ia seorang Wahabi.
Mari kita renungkan, apa saja yang dapat kita perbaiki mengenai kehidupan akademik di kampus, baik oleh tenaga akademik, tenaga administrasi maupun mahasiswa. Jika mahasiswa berlaku seperti itu, seharusnya tenaga akademiknya merasa bersalah, karena hal itu pertanda bahwa tenaga akademik belum dapat membawakan suasana akademik ke dalam kampus, termasuk membawa mahasiswanya ke suasana ingin mengetahui.
Pernah seorang dewan penyantun suatu universitas besar di Jakarta yang diselenggarakan masyarakat bertanya pada saya, universitas apa di Indonesia yang suasana akademiknya sudah menyamai suatu universitas penelitian. Jawab saya dengan tegas, belum ada. Dan ketika ia menanyakan alasannya, saya katakan bahwa di kampus saat ini banyak mahasiswa termasuk juga mahasiswa pascasarjana serta dosen hanya menghadiri seminar karena harus menandatangani daftar hadir. Kalau kurang tandatangan di daftar hadir, ada kemungkinan ia tidak boleh ikut ujian atau kredit kenaikan pangkatnya tidak cukup. Kalau begitu halnya, di kampus kita orang hadir di seminar bukan karena ingin tahu lebih banyak, melainkan karena takut tidak lulus ujian atau tidak naik pangkat.***
*Andi Hakim Nasoetion (1932-2002) adalah Guru Besar Statistika IPB, yang pernah menjadi Rektor IPB pada 1978-1987.

Monday, December 2

mereka, matematika dan permainan

Kebetulan beberapa saat lalu berkesempatan untuk mengisi waktu luang anak2....


Matematika tidak selamanya membosankan. saat diberikan permainan, mereka dengan serius mengerjakannya.

"Tidak ada orang yang main-main dalam bermain" (lupa siapa yg ngomong gini)









Monday, November 25

Wednesday, August 28

Sedikit coret2 dari artikel “Digital Natives, Digital Immigrants”



“Digital Native” dan “Digital Immigrant” adalah dua istilah yang digunakan Marc Prensky untuk membedakan keterkaitan manusia dengan teknologi saat ini.  “Digital Native” merupakan gambaran seseorang (terutama anak hingga remaja) yang sejak kelahirannya telah terpapar gencarnya perkembangan teknologi, seperti perkembangan komputer, internet, animasi dan sebagainya yang terkait dengan teknologi.  Sedangkan “Digital Immigrant” merupakan gambaran seseorang (terutama yang telah berumur) yang selama masa kehidupan anak hingga remaja berlangsung sebelum berkembangnya komputer. Pada artikelnya, Prensky lebih menitikberatkan Digital Native sebagai siswa yang masih belajar di bangku sekolah (dari TK hingga perguruan tinggi), sedangkan Digital Immigrant merupakan guru/dosen/tutor yang memberikan pelajaran di sekolah/ perguruan tinggi.

http://www.mondaynote.com/wp-content/uploads/2010/07/144-digital_native2.jpg?d81f8f


Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini siswa-siswi (TK hingga PT) setiap harinya berkutat dan dikelilingi oleh komputer, internet, handphone dan smartphone. Prensky menyebut mereka sebagai “native speaker” dari jaman komputer dan internet saat ini. Sehingga jangan heran apabila kita memberikan seorang anak sebuah smartphone, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi anak tersebut untuk setidaknya mengetahui letak/posisi permainan pada smartphone tersebut dan bagaimana memainkannya. Hal-hal seperti contoh di atas ternyata telah jauh mengubah cara berfikir anak-anak saat ini sehingga mereka memiliki cara berfikir yang sangat berbeda dari kita (Digital Immigrant). Mengutip Dr Bruce  dari Baylor College of Medicine bahwa “Different  kinds  of  experiences  lead  to  different  brain structures“.

Berbeda dengan “Digital Native” yang sudah fasih dalam “berbahasa”  teknologi, kita sebagai “Digital Immigrant” harus belajar bahasa tersebut. Ada yang dapat beradaptaasi dengan baik ada juga yang teseok-seok dalam memahaminya. Tetapi sebaik apapun seorang non-native belajar pasti meninggalkan, yang disebut oleh Prensky sebagai, “accent”. Beberapa “accent” yang mungkin dapat kita lihat atau bahkan mungkin kita lakukan, antara lain: mencetak e-mail atau mencetak dokumen untuk mengedit tulisan, memanggil/mengajak seseorang ke meja kita untuk menunjukkan padanya sesuatu yang menarik di internet/website tertentu atau mungkin Anda mengirimkan email ke teman Anda kemudian Anda menghubungi dia melalui telephone dan bertanya “apa Anda sudah menerima email yang saya kirim?” atau mungkin beberapa contoh kecil yang memperlihatkan “accent” seorang Digital Immigrant.
Nah, masalah yang dihadapi sekarang adalah kebanyakan orangtua, guru, tutor, dosen merupakan Digital Immigrant, yang berbicara bahasa jadul. Mereka harus berhadapan langsung dengan siswa (Digital Native) yang “berbicara” bahasa baru yang sama sekali berbeda dengan bahasa yang dipahami oleh para Digital Immigrant. Sehingga tidak jarang para Digital Native tidak mengerti apa yang dibicaran oleh para Digital Immigrant, begitu pula sebaliknya.

Beberapa isu yang dikemukakan oleh Prensky terkait dengan cara/proses berfikir para Digital Native, antara lain: Dikarenakan para Digital Native menerima informasi dengan sangat cepat, sehingga mereka beradaptasi dengan cara dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multi task). Mereka lebih memilih untuk melihat representasi dari suatu fenomena untuk kemudian mendeskripsikannya dengan kata-kata. Mereka cenderung bekerja secara random dan lebih memilih untuk bekerja dalam tim. Serta mereka lebih menyukai suasana yang serius namun santai. Sedangkan para Digital Immigrant, lebih kaku, lamban,  menginginkan tahapan-tahapan yang jelas (tidak random), focus, lebih individual dan SERIUS.
http://www.limkokwing.net/graphics/founder/blog/entry/native_vs_digital.jpg


Prensky mencontohkan para Digital Immigrant tidak percaya bahwa siswa dapat belajar di depan televisi atau sambil mendengarkan musik atau mungkin sambil chatting dengan smartphonenya hanya karena para Digital Immigrant tidak dapat melakukan hal2 tersebut. Tentu saja mereka tidak bisa, para Digital Immigrant berfikir bahwa belajar seharusnya memang tidak menyenangkan. Sedangkan, para Digital Native sejak awal memulai kegiatan belajar mereka bersama dengan Sesame street, Dora, Barney dsb.
Perbedaan dari cara pandang tersebut mau tidak mau mempengaruhi dunia pendidikan secara umum. Seorang guru yang merupakan Digital Immigrant berasumsi bahwa para siswa sama dengan mereka (dahulu) sehingga mereka menerapkan metode pembelajaran yang dahulu telah terbukti berhasil pada kegiatan pembelajaran untuk siswa saat ini (para Digital Native).

Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut?? Apakah para Digital Native harus belajar cara lama ataukah para Digital immigrant belajar cara baru?? Langkah yang paling mungkin untuk dijalani adalah yang kedua. Tidak mungkin kita dapat “memaksa” para Digital Native belajar cara lama selain karena struktur otak mereka telah berbeda dengan kita, saat ini hampir tidak mungkin bagi kita untuk menghambat atau mengontrol dengan ketat perkembangan teknologi yang ada.

Dengan mengambil langkah kedua maka sebagai pendidik kita harus mempertimbangkan hal2 terkait dengan metodologi dan konten yang akan kita berikan pada para Digital Native. Pada tulisannya Prensky lebih menitik beratkan pada konten terutama penggunaan permainan sebagai alat belajar, hal tersebut wajar jika melihat latar belakang Prensky yang merupakan seorang game desainer. Dan hal ini yang memang banyak kita temui saat ini, bagaimana siswa dapat belajar konsep, logika dan semua kemampuan berfikir tingkat tinggi tapi dengan cara yang menyenangkan.

"Our students have changed radically. Today’s students are no longer the people our educational system was designed to teach" (Marc Prensky, 2001)

jurnal dapat di download di:
https://www.dropbox.com/s/uc3rxdi2rvb6kas/prensky%20-%20digital%20natives%2C%20digital%20immigrants%20-%20part1.pdf

Tuesday, July 30

ujung genteng


Semua foto diambil di ujung genteng, sukabumi, Jawa Barat...












Selamat menikmati.... :D